Akidah Muktazilah

Kelompok akidah Muktazilah berawal dari tindakan Wasil bin Atha’ (81-131H) yang memisahkan diri dari gurunya yaitu Imam Hasan Al-Bashri (21-110H) karena berbeda pendapat.

Pada suatu kajian di masjid Bashra, seseorang bertanya pada Imam Hasan Al-Bashri tentang para pendosa apakah masih mukmin (beriman) atau sudah kafir. Disaat gurunya tengah berdiam untuk menjawab pertanyaan tersebut, Wasil bin Atha’ menjawab bahwa para pendosa berada diantara mukmin dan kafir. Kemudian Wasil bin Atha’ bersama memisahkan diri membuat kelompok kajian sendiri di salah satu sudut masjid. Imam Hasan Al-Bashri pun menyebutnya, “ia telah i’tizal (mengasingkan) diri dari kita”.

Ajaran Muktazilah beranggapan bahwa akal manusia lebih baik dibandingkan tradisi. Oleh karena itu, penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Alquran secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat muslim.

Muktazilah memiliki lima ajaran utama yang disebut ushul al-khamsah, yakni:

  • Tauhid. Mereka berpendapat:
    • Sifat Allah adalah zat-Nya itu sendiri.
    • Alquran adalah makhluk.
    • Allah di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. Yang terjangkau mata manusia bukanlah Ia.
  • Keadilan-Nya. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT akan memberi imbalan pada manusia sesuai perbuatannya.
  • Janji dan ancaman. Mereka berpendapat Allah takkan ingkar janji: memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat.
  • Posisi di antara 2 posisi. Ini dicetuskan Wasil bin Atha’ yang membuatnya berpisah dari gurunya, bahwa mukmin yang berdosa besar, statusnya berada di antara mukmin dengan kafir.
  • Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan yang tercela). Ini lebih banyak berkaitan dengan hukum/fikih.

Aliran Muktazilah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya.

Sejak lahirnya di abad kedua hijriyah, akidah Muktazilah ini kurang diterima oleh para ulama, dan saat ini sudah dianggap tidak ada lagi yang mengikuti akidah Muktazilah ini. Meski begitu pemikiran rasional dari akidah ini banyak digali oleh cendikiawan muslim maupun non-muslim.